STARLINK BUKAN TEKNOLOGI BARU, JANGAN KELIRU
Banyak orang mengira Starlink adalah teknologi baru yang memiliki keunggulan akan mendisrupsi teknologi lama. Ada juga yang menganggap satelit ini sebagai keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Tentu anggapan ini tidak sepenuhnya benar, walau untuk sementara Starlink sepertinya hebat. Satelit Starlink adalah satelit berjenis Low Earth Orbit (LEO), yang beroperasi di ketinggian antara 400 km sampai 1200 km. Sebenarnya ini teknologi yang sudah lama, bahkan sudah beberapa kali dicoba dikembangkan di AS dan Eropa, tapi gagal dalam bisnisnya. Tahun 1990-an sudah ada yang punya 60 satelit LEO tapi bubar karena costnya terlalu mahal. Mereka kesulitan dalam pendanaan saat itu.
Satelit LEO memang bukan hal baru. Beberapa perusahaan telah mencoba bisnis satelit LEO tapi mengalami kegagalan, karena masalah dana dan regulasi. Contohnya, Teledesic pada tahun 1990-an didukung Bill Gates dan Craig McCaw, sedianya untuk internet broadband global. Namun, proyek ini gagal terutama karena keuangan, bubar awal tahun 2000-an. Ada juga Iridium diluncurkan akhir 1990-an, juga bangkrut karena biaya yang sangat tinggi dan minimnya pelanggan. Lalu Iridium dihidupkan kembali untuk layanan militer dan Pemerintah AS serta melayanani komunikasi satelit di daerah kutub. Lalu ada Globalstar yang juga memakai LEO diluncurkan akhir 1990 juga bangkrut pada awal 2000-an. Kemudian OneWeb, pakai konstelasi satelit LEO untuk internet global. Maret 2020, OneWeb mengajukan kebangkrutan, lagi-lagi karena pendanaan dan kesulitan melanjutkan peluncuran satelit, pemerintah Inggris dan perusahaan telekomunikasi Bharti Global membantu One Web.
Jadi Satelit LEO Starlink bukan teknologi baru, namun model bisnis yang dipakai Elon Musk yang baru. Yaitu dengan dukungan berbagai usaha dan perusahaan untuk membiayai Starlink. Bagi Elon ini pertaruhan reputasinya. Itulah kenapa ia berusaha walau sulit dan mahal operasionalnya tetap dilanjutkan demi ambisinya. Karena mahalnya biaya operasional, satu pelanggan Starlink untuk beli perangkat 7-8 juta rupiah. Biaya langganan termurah 1,5 juta rupiah. Apa penduduk Indonesia di daerah 3T mampu?
Walau demikian Elon bertahan di bisnis ini, karena salah satunya ia punya perusahaan roket SpaceX (Space Exploration Technologies Corp) yang inovatif dan murah. Roket Falcon milik SpaceX bisa balik ke pangkalan dan dipakai berkali kali. Banyak perusahaan satelit GEO (Geostationary Earth Orbit) menggunakan perusahaan roket peluncur satelit ini. Saya pernah ke Florida melihat peluncuran Falcon 9. Perusahaan hebat inilah yang menjadi salah satu pendukung utama peluncuran ribuan satelit Starlink untuk tiap tahunnya. Elon Musk juga punya beberapa kerajaan bisnis yang juga saling mendukung. Ada Tesla, Inc. Perusahaan mobil listrik dan energi terbarukan, dengan baterai dan produk energi solar. Punya SpaceX (Space Exploration Technologies Corp) perusahaan dirgantara yang membuat transportasi keluar angkasa hingga untuk kolonisasi Mars. Lalu ada Neuralink, perusahaan neuroteknologi yang fokus pada pengembangan antarmuka otak-komputer untuk memungkinkan interaksi langsung otak manusia dan komputer. Elon juga punya The Boring Company, perusahaan infrastruktur konstruksi untuk mengurangi kemacetan lalu lintas dengan membangun terowongan-terowongan bawah tanah. Punya SolarCity, perusahaan energi surya yang memperkuat divisi energi Tesla. Punya OpenAI perusahaan kecerdasan buatan. Punya X (dulu Twitter) dan PayPal, perusahaan platform pembayaran digital. Elon juga terlibat bisnis uang Kripto. Pada awal 2021, Tesla membeli Bitcoin (BTC) senilai $1,5 miliar dan mengizinkan pembelian mobil Tesla pakai Bitcoin. Lalu terlibat penggunaan energi untuk penambangan Bitcoin. Elon mendukung Dogecoin dan sering mencuit tentang cryptocurrency ini di X nya, hingga menyebabkan fluktuasi harga yang signifikan.
Elon juga punya dan bisnis Ethereum (ETH). Meskipun tidak seaktif dengan Bitcoin atau Dogecoin. Ia sering bicara tentang potensi cryptocurrency dalam berbagai kesempatan. Padahal di balik uang kripto itu adalah gerakan teknologi digital melawan otoritas negara dan bank sentral. Di situlah peran Elon sebagai tokoh liberal yang ingin mengecilkan peran negara. Untuk melihat Starlink sudah teruji dan mampu bertahan atau tidak, perlu waktu 10-15 tahun. Kalau bisnis satelit GEO sudah teruji lebih dari 50 tahun dan Starlink yang baru diluncurkan pertama 2019 lalu melayani publik mulai 2020 di AS, apakah sudah teruji Starlink lebih baik dari satelit GEO?
*Pemerintah Tidak Konsisten
Dalam pertimbangan yang kompleks itulah saat pemerintah Indonesia merencanakan melayani desa berdering untuk daerah-daerah terpencil, terluar terdepan di seluruh Indonesia, maka satelit GEO yang dipakai. Awalnya menyewa beberapa satelit untuk program USO (Universal Service Obligation), program kewajiban pemerintah melayani telekomunikasi di wilayah-wilayah terpencil yang ekonominya tidak maju dan tidak menarik bagi operator swata.
Di tahun 2017 diputuskan pemerintah berencana memiliki satelit GEO sendiri untuk menggelar internet di seluruh negeri. Juni 2023 Satelit Republik Indonesia (Satria 1) yang merupakan jenis satelit GEO yang dibeli dari perancis diluncurkan dari Florida AS. Melengkapi Fiber Optic Palapa Ring dan Ribuan BTS untuk mewujudkan Indonesia terkoneksi internet. Awalnya hanya terkoneksi telekomunikasi, namun belakangan sesuai tuntutan perkembangan ditujukan untuk pemerataan internet. Tentu dengan teknologi yang lebih berbeda atau lebih maju, minimal 4G, bahkan 5G. Makanya Satria itupun satelit yang dirancang khusus untuk internet terbesar di Asia. Satelit GEO memang lebih efisien, satu satelit bisa dipakai mengcover seluruh Indonesia. Sedang jika pakai LEO untuk melayani Indonesia dibutuhkan 100 satelit lebih. Tentu biaya operasional lebih mahal. Belum lagi satelit GEO bisa bertahan lebih dari 15 tahun. Sedang Starling berkisar 5 tahun. Satelit Satria 1 operasinya di pelanggan menggunakan VSAT yang akan dideploy dan dibiayai pemerintah lewat subsidi untuk internet di fasilitas2 umum seperti sekolah, pesantren, puskesmas, kantor desa, taman, pasar dan lain lain di daerah perbatasan dan terluar, terpencil dan terdepan. Dengan kapasitas secara teknis bisa sampai 100 bhkn 200 mbps. Sayangnya ada juga yang ingin hanya 20 mbps, tentu terlalu kecil dan malah idle untuk infrastruktur dengan kapasitasnya yang sudah digelar.
Tiba tiba saja muncul keputusan Menkes 2924 ini yaitu pakai starlink untuk Puskesmas. Ini jelas kebijakan inkonsisten dengan rencana dan road map digital Indonesia. Padahal sejak awal puskesmas akan disediakan VSAT. Bahkan masyarakat umum di 3T Juga bisa pakai VSAT lewat Bumdes (badan usaha milik desa) yang bisa didanai oleh dana desa untuk melayani masyarakat anggotanya.
Semua itu sudah diantisipasi dan tidak ada yang gak mungkin. Sayangnya pemerintah buruk dalam kordinasi antar kementerian, dan malas kerja keras hingga pelosok. Jadinya seakan hanya bisa belanja infrastruktur tapi lemah dalam implementasi. Lalu tergoda dengan teknologi lama yang seolah-olah baru karena kepintaran Elon Musk dalam komunikasi dan pemasaran serta menggunakan trend ekonomi valuasi yang sesungguhnya lebih mengandalkan image dari pada realitas yang kompleks. Masyarakat juga pragmatis, asal ingin cepat terlayani, walau sebenarnya yang banyak bersuara justru dari daerah-daerah yang sudah terlayani internet. Kalau masyarakat daerah 3T bagamana mau langganan Starlink, jika pasang peralatannya saja harus bayar 7-8 juta, dengan harga langganan paling murah 1.5 juta perbulan. Rumah-Rumah masyarakat di 3T tentu sulit menjangkau biaya itu. Sedangkan di daerah perkotaan mereka sudah dilayani ISP dengan FO yang jauh lebih cepat, lebih besar kapasitas dan juga lebih murah langganannya. Starlink akan kesulitan memasarkan sebagaimana terjadi di negara lain yang dalam kondisi damai.
Henri Subiakto
Tinggalkan Balasan