BERUNTUNG INDONESIA MEMILIKI UU ITE YANG MELINDUNGI PUBLIK DAN MENJAGA DEMOKRASI
UUD 1945 dan UU ITE.
Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sering dituding sebagai draconian code, UU yang mengancam dan menakut nakuti pengguna internet. Pasal- pasalnya kerap digugat judicial review dengan alasan menghambat hak kebebasan berpendapat dan berkomunikasi sehingga bertentangan dengan konstitusi.
Menurut pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Tapi selanjutnya menurut pasal 28 J ayat (1) disebutkan: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Sedang pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 mengatakan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Artinya hak atas kebebasan berkomunikasi tidak berarti merupakan kebebasan absolut. Konstitusi membenarkan, bahkan mengamanahkan agar negara membuat undang undang untuk mengaturnya agar tidak merugikan hak hak yang dimiliki warga negara lain. UU ITE disini adalah salah satu UU yang mengatur kebebasan berpendapat dan berkomunikasi sebagaimana hak yang diberikan oleh konstitusi RI yaitu UUD 1945.
Hak berkomunikasi Warga Negara tidak menghilangkan Hak Negara untuk mengatur agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak warga Negara lain.
Meskipun setiap orang mempunyai hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, tetapi hak tersebut, tidak menghilangkan hak negara untuk mengatur agar kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tidak melanggar atau merugikan hak-hak orang lain. Terlebih hak anak-anak untuk mendapatkan perlindungan diri dari informasi yang membahayakan mereka. Kewenangan atau hak negara untuk mengatur itu dapat dibenarkan, bahkan menjadi tanggung jawab negara, atau Pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang. Tujuannya untuk menciptakan situasi ketertiban umum sehingga terpenuhinya hak warga negara atas perlindungan diri pribadi, keluarga, dan anak-anak, baik dari penipuan, pornografi, perjudian, maupun hoax yang memprovokasi, adu domba dan menyebarkan kebencian, ataupun permusuhan SARA. Pasal aquo itu sebenarnya adalah untuk melindungi warga negara dari penyalahgunaan internet, khususnya konten konten illegal atau konten melanggar Hukum.
fokus pengaturan dan pembatasan hukum in casu undang-undang dan pasal a quo adalah untuk menjaga ketertiban umum terkait lalu lintas informasi elektronik dan media siber yang dilakukan oleh ratusan juta pengguna internet di Indonesia, dan milyaran manusia di dunia, yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai era abundance, era keterlimpahan (Diamandis & Kotler, 2017).
Dewasa ini ada 202,6 juta pengguna internet di Indonesia, aktif menjadi pemroduksi pesan dan informasi yang berguna, yang mencerahkan, maupun yang tak berguna, bahkan berbahaya. Di internet ada jutaan konten illegal yang bisa berdampak buruk bahkan merugikan pengguna internet. Temuan konten yang dilaporkan oleh masyarakat yang kemudian ditapis atau di-take down oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo, dari 2018 sampai 31 Mei 2021secara total ada sebanyak 1.463.820 laporan. Konten illegal yang melangar hukum itu didominasi oleh konten berupa pornografi di urutan pertama sebanyak 1.085.648 situs. Urutan kedua konten perjudian sebanyak 353.594 temuan. Dan urutan ketiga konten penipuan sebanyak 13.637 temuan. Diikuti konten SARA, kemudian konten hoax yang memprovokasi masyarakat.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara, berperan dan bertindak seakan sebagai “penjaga malam” (nachtwakerstaat) untuk keamanan dan kenyamanan warga negara secara menyeluruh. Sebagaimana polisi mengatur lalu lintas, untuk menciptakan ketertiban demi kelancaran jalan sebagaimana mestinya dan menghindari kekacauan, bahkan kerusakan.
Sama halnya menghadapi arus tsunami informasi seperti sekarang ini. Pemerintah juga mengatur atau mengamankan konten-konten yang melanggar hukum yang lalu-lalang membahayakan masyarakat. Apa jadinya apabila Pemerintah tidak punya wewenang menghentikan secara cepat dan tepat gelombang konten konten illegal yang dilarang Undang-Undang, misal pornografi, penipuan, perjudian, dan berbagai hoax, kabar bohong yang berisi provokasi dan “adu domba”? Konten-konten demikian itu memiliki potensi dampak sangat besar, mengingat jumlahnya yang juga sangat banyak di media sosial.
Komunikasi di Era Digital.
Persoalan utama komunikasi di era digital itu bukan saat menghadapi pers. Bukan pula saat menghadapi jurnalistik media, ataupun konten penyiaran. Tapi yang dihadapi adalah persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tsunami informasi elektronik di dunia maya yang gelombang informasinya bisa dibuat oleh siapa saja. Organisasi apa saja. Dari mana saja. Dalam maupun luar negeri. Pembuat dan penyebar konten itu bisa saja orang baik ataupun orang jahat. Dengan berbagai karakter, berbagai motif dan kepentingan yang dimiliki pengguna internet di Indonesia, maupun pengguna internet di negara lain di dunia.
Mereka semua itu berpotensi menjadi komunikator, atau pembuat dan penyampai konten elektronik. Bayangkan saja, sebanyak 202,6 juta pengguna internet Indonesia dan 4,6 miliar pengguna di dunia, siap menerima dan mengirimkan pesan hingga memviralkan lewat fenomena “Mass Self Communication” (Manuel Castle, 2007). Repotnya, konten yang menarik yang sering menjadi words of mouth itu justru something deviant content. Konten- konten illegal, seperti pornografi, hoax, hingga kebencian SARA, itu berpotensi melesat dan tersebar lebih cepat daripada konten yang positif.
Kenapa Aktivitas di dunia siber harus diatur secara berbeda dengan aktivitas di dunia fisik?
Aktivitas komunikasi di dunia siber itu mempunyai karakter yang khas, yaitu : (1) komunikatornya bisa siapapun, dan komunikator bisa sangat mudah menyembunyikan identitas; (2) penyebarannya kontennya sangat cepat dan meluas, melalui fenomena mass self communication. Yaitu komunikasi yang dilakukan oleh self to self, person to person yang bisa melibatkan jutaan orang, siapapun dan dimanapun, borderless dan berulang ; (3) konten konten komunikasi siber dapat bersifat destruktif, berisi materi yang melanggar hukum, dan perundang undangan seperti pornografi, penipuan, perjudian, hingga khabar bohong dan provokasi yang dibuat secara sengaja.
Dengan memahami dunia siber beserta karakter, perkembangan dan pemanfaatannya dalam ragam kejahatan, logis kiranya diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan aktivitas di dunia fisik. Karena menggunakan media elektronik atau internet itu sangat luar biasa, memiliki corak viktimisasi yang tidak terbatas.
Fenomena Sociomateriality dari Wanda J Orlikowski.
Sekarang ini manusia dan teknologi komunikasi itu menyatu, saling berinteraksi, dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain (Wanda J. Orlikowski, 2012). Itulah sociomateriality tentang manusia yang tergantung dan tidak bisa dipisahkan dengan teknologi digital. Persoalannya, pengguna internet tidak hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak. Pengguna internet tidak semua berpendidikan secara memadai. Banyak yang tidak cakap secara intelektual, maupun hukum. Oleh karenanya Negara harus melindungi segenap warga negara dari konten-konten liar, yang berbahaya, dan jelas jelas melanggar hukum atau Undang Undang.
Sebenarnya sebelum berlaku pasal 40 ayat (2a) dan (2b), terlebih dahulu sudah ada pasal 40 ayat (2) UU ITE. Pasal ini adalah amanah UU yang mewajibkan Pemerintah atau negara untuk melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya pasal ini mengatur penyalahgunaan informasi elektronik. Terutama menyangkut konten dan Transaksi elektronik yang mengganggu kepentingan umum.
Amanah Pasal 40 ayat (2a) UU ITE dan pasal aquo itu saling terkait.
Pasal 40 ayat (2a) UU ITE itu berisi kewajiban yang dibebankan kepada pemerintah dalam hal administrasi pemerintahan untuk melakukan keputusan berupa tindakan (beschikking) melindungi masyarakat dari penyalahgunaan konten atau informasi elektronik yang memiliki muatan dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang undangan. Ini merupakan tugas yang diberikan oleh pembuat Undang Undang kepada pemerintah. Kenapa demikian? Karena konten-konten illegal yang ada di dunia maya itu berpotensi merusak, atau merugikan masyarakat luas. Maka pemerintah diwajibkan melakukan keputusan atau tindakan cepat, yaitu “Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Konten-konten illegal yang dicegah itu bisa ada di situs-situs media. Bisa di akun akun yang ada di platform. Bisa pula ada di aplikasi-aplikasi. Sepanjang konten itu melanggar perundang-undangan, maka oleh pasal 40 ayat (2a) UU ITE, pemerintah diwajibkan mencegah, penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam hal menjalankan tugas atau kewajibannya, pemerintah diberi wewenang agar bisa melaksanakan tugas atau kewajibannya. Wewenang itu ada pada pasal 40 ayat (2b) bunyinya : “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum”.
Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) ini lebih merupakan aturan atau regulasi terkait konten illegal yang melanggar hukum (content and application layer) bukan regulasi tentang infrastruktur (physical network layer). Regulasi yang terkait dengan layer infrastruktur teknologi itu ada di Undang-Undang nomer 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Jadi persoalan penghentian internet di Papua, itu memang bukan objek dari UU ITE, bukan pula objek dari pasal a quo pasal 40 ayat 2b. Makanya saat pemerintah diputus bersalah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Pusat, itu sudah tepat diterima, dan tidak perlu banding. Jadi sekali lagi pasal 40 ayat (2a) dan (2b) itu ibarat “Iron dom” untuk melindungi rakyat Indonesia dari “serbuan dan sasaran” illegal content yang bertebaran luar biasa banyaknya dan memiliki kecepatan daya rusak. Pembuat UU melihat, konten internet itu tidak semuanya positif, banyak yang di dalamnya negative, bahkan berbahaya karena disalahgunakan. Itulah konten illegal, atau melanggar perundang-undangan, dan memiliki potensi merusak dengan dampak yang massif terhadap masyarakat. Artinya konten illegal seperti pornografi, penipuan, perjudian, dan hoax yang berisi adu domba atau provokasi terhadap masyarakat, jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, distribusi dan penyebarannya di media sosial atau internet memiliki potensi dampak kerusakan yang massif. Disitulah pembuat UU memandang diperlukannya tindakan penanganan dari pemerintah yang cepat dan tepat, untuk mencegah dampak yang berbahaya dan kerusakan yang massif di masyarakat. Terlebih pengguna internet tidak hanya orang dewasa, tapi semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang masih berusia anak-anak. Kelompok-kelompok rentan itulah yang harus dilindungi oleh negara.
Pasal a quo itu adalah pasal konsekuensi pemberian wewenang kepada pemerintah karena dibebani kewajiban oleh pasal 40 ayat (2a).
Pemerintah sebagai penyelenggara negara oleh UU ITE diwajibkan untuk melakukan pencegahan “terhadap penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Asbabul nuzul ketentuan ini, bisa ditelusuri saat pasal tersebut muncul. Dulunya berasal dari inisiatif parlemen, khususnya terkait konten pornografi. Pemerintah diwajibkan mencegah peredaran informasi elektronik yang berupa pornografi. Tetapi kemudian setelah dikaji diperluas, karena konten yang berbahaya bagi rakyat dan negara bukan hanya pornografi. Ada penipuan, perjudian, konten provokasi SARA dan adu domba menggunakan hoax atau kabar bohong yang juga sangat berbahaya. Maka oleh pembuat UU dibuatlah rumusan baru agar lebih tepat dalam menepis konten konten berbahaya tersebut. Disitulah kemudian pasal 40 ayat (2a) dan pasal 40 ayat (2b) dirumuskan. Yaitu pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan memutus akses, atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap content illegal yang melanggar hukum.
Keputusan berupa tindakan (beschikking) memutus akses itu harus cepat dan segera dilakukan, karena jumlah konten informasi elektronik illegal di internet itu bersifat massif dan sangat banyak. Jika terlambat diputus, the damage has been done. Kerusakan terlanjur terjadi. Karena di era digital, kecepatan adalah persoalan utama dalam melawan kejahatan yang disebarkan lewat internet. Kalah cepat dalam penanganan berarti membiarkan kejahatan itu merajalela.
Media sosial diperlakukan sebagai ajang perang.
Informasi elektronik illegal yang berbahaya itu tidak hanya pornografi, penipuan, dan perjudian, tetapi juga konten-konten elektronik berupa hoax, khabar bohong yang merupakan hasutan, dan adu domba, ataupun konten ajakan rasa kebencian dan permusuhan terhadap sesama anak bangsa. Hal seperti itu sudah menjadi fenomena global sebagaimana ditulis dalam buku “Like War, The Weaponization of Social Media (Singer & Brooking, 2019). Di era sekarang, internet atau media sosial dijadikan ajang “perang komunikasi” untuk mendukung dan mencapai gerakan politik tertentu.
Media sosial menurut penelitian Peter Singer telah digunakan sebagai senjata untuk menciptakan disinformasi hingga mempengaruhi opini publik. Untuk tujuan itu dibuatlah akun akun cyber troops, cyber army, atau buzzer yang bertindak sebagai pasukan “perang komunikasi” di internet. Strateginya memaksimalkan dampak dengan menggalang dukungan publik, lewat berbagai cara, termasuk menggunakan hoax, pesan-pesan provokatif, dan disinformasi, hingga membentuk kebenaran semu (false truth).
Di Medsos banyak akun siber yang sengaja diciptakan berdasar kepentingan pelaku, untuk melakukan kegaduhan, dan menyebarkan pesan-pesan agar dianggap sebagai kebenaran. Walhasil kebebasan di internet dan media sosial justru menjadi paradox demokrasi. Informasi-informasi yang dibuat tanpa mempedulikan etika dan hukum itu justru merongrong sistem demokrasi, undermines democracy (Siva Vaidhyanathan, 2019).
Di era digital dan medsos seperti sekarang, kelompok radikal, teroris dan sparatis memanfaatkan ruang kebebasan untuk mengekspresikan dan menyebarkan misi atau ideologi mereka. Mereka itu justru sering memanfaatkan demokrasi dan HAM untuk berlindung dari penegakkan hukum. Fenomena global yang juga terjadi di negara -negara lain ini harus kita waspadai bersama. Karena alasan demokrasi, penegakkan hukum terhadap radikalisme, terorisme, dan sparatisme sering kali menjadi longgar.
Norma mengatur konten internet di negara lain.
Persoalan banyaknya konten internet yang membahayakan negara dan rakyat, tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di negara lain. November 2018 Facebook dan Instagram memberangus 900 akun dan laman palsu yang menyesatkan opini untuk Pemilu Midterm di Amerika Serikat. Satu akun Instagram memiliki 1,25 juta followers, 600 ribu ada di AS. Sedangkan akun FB nya memiliki pengikut 650 ribu follower. Kepala kebijakan keamanan Facebook, Natlan Gleicher menengarai adanya serangan hoax pada para pemakai Facebook, Instagram, Whatsapp, dan Twitter. Konten-konten itu selain rasis, juga memanipulasi fakta. Kemudian Facebook membuka “Room War” di Menlo Park California AS, untuk memerangi hoax dan manipulasi yang ada di platform media sosial. Artinya ancaman terhadap konten-konten yang berbahaya, juga terjadi di negara lain, dengan mekanisme dan regulasi yang berbeda-beda.
Di Amerika, konten internet bukan merupakan tanggung jawab perusahaan aplikasi global seperti Youtube, Facebook, Twitter, WhatsApp dan lainnya. Namun belakangan ini ada desakan dan Rancangan Undang-Undang yang akan mengatur isi platform media sosial. Salah satunya disuarakan oleh gerakan aktivis di Amerika Serikat yang bernama Color of Change, yang menuntut dihentikannya penyebaran konten-konten kebencian ras (Color of
Change #StopHateForProfit). Dalam pernyataannya mereka tidak percaya terhadap perusahaan teknologi global dalam melakukan self regulate, yaitu pemblokiran konten oleh Twitter, Facebook, Instagram, Google, Zoom, dan lain-lain. Bagi mereka pemblokiran yang dilakukan oleh perusahaan bernilai miliaran dollar itu, tidak lebih merupakan tindakan public relations. Twitter dan Facebook memang memblokir akun Donald Trump, website dan akun The Proud Boys, gerakan kelompok rasis yang aktif memprovokasi “white supremacy”. Seakan perusahaan platform global itu bertanggung jawab dan dapat dipercaya menjaga demokrasi dan keadilan. Kenyataannya konten-konten rasis, kebencian dan misinformasi itu lebih banyak dibiarkan selama bertahun-tahun. Akun akun palsu, anonym atau tanpa identitas, bahkan akunbot juga dibiarkan menyebarkan informasi tanpa etika dan tanggung jawab. Mereka baru di-suspend jika sudah ada laporan yang massif. Akibatnya, fenomena rasisme, dan radikalisme meningkat tajam hingga memunculkan banyak konflik horizontal, hingga terjadinya peristiwa penyerangan dan pendudukan Gedung Kongres AS di bulan Januari 2021.
Konten-konten kebencian rasis, provokasi, dan mis-informasi menurut catatan Color of Change, justru membuat traffic pengguna platform medsos itu meningkat. Masukan iklan dan pengumpulan data juga meningkat. Berarti konten-konten yang merusak tersebut justru menguntungkan bisnis mereka. Istilahnya, Big Tech companies of social media thrive on conflicts but threatened by normalcy. Tapi kalangan aktivis tidak tinggal diam. Gerakan Color of Change bersama kelompok-kelompok koalisinya mengkampanyekan #StopHateForProfit didukung 1000 pemasang iklan yang menarik anggaran beriklan, hingga mengurangi pemasukan jutaan dolar pada perusahaan platform tersebut.
Bagi para aktivis ini, pemblokiran akun Donald Trum dan Proud Boys, hanyalah untuk keseimbangan dalam membangun citra, yang dilakukan sebagai bagian dari strategi PR semata. Perusahaan Big Tech companies seperti Youtube, Facebook, Twitter, Whatsapp dan lain-lain tersebut baru bertindak saat keuntungan, kepentingan, dan reputasi mereka terancam. Itupun dilakukan saat kerusakan sudah terjadi, the damage has been done. Kenapa demikian? Karena model bisnis perusahaan platform global itu semata mata memaksimalkan (engagement) keterlibatan publik penggunanya. The more polarized content is, the more engagement it gets, the more comment it elicits or times it’s shared, the more of our attention they command and can sell to advertisers.
Kelompok aktivis anti-rasis, Color of Change-pun menyimpulkan dan menyerukan “Congress should enact and enforce federal regulations to reign in the outsized power of Big Tech behemoths, and our lawmakers must create policies that translate to real-life changes in our everyday lives — policies that protect Black and other marginalized communities both online and offline. Our nation’s leaders have a responsibility to protect us from the harms Big Tech is enabling on our democracy and our communities — to regulate social media platforms and change the dangerous incentives in the digital economy. Without federal intervention, tech companies are on pace to repeat history.” http://feedproxy.google.com/~r/Techcrunch/~3/38ZgdFwzg5s/ (http://goo.gl/W4D7n).
Memang tidak semua negara memiliki regulasi seperti Undang-Undang ITE. Amerika Serikatpun sempat disuarakan oleh korban-korban rasisme, yang terkait dengan media sosial. Belakangan dua senator dari partai Demokrat, Amy Klobucar dan Ben Ray mengajukan RUU yang isinya mewajibkan perusahaan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube dan lain lain itu bertanggung jawab menghentikan atau memutus konten misinformasi yang beredar di medianya. Terutama untuk saat sekarang adalah misinformasi tentang vaksin Covid-19 (Reuters, Joshua Roberts, Washington 22 July 2021). Persoalan misinformasi kenapa harus segera dihentikan, karena menurut Joe Biden, Misinformasi (hoax) di Media Sosial tentang Covid-19 dan vaksinasi itu sama dengan “membunuh orang” dan menyebut Facebook perlu ditindak (KOMPAS.com, Sabtu, 17 Juli 2021).
India juga mengalami hal yang sama Februari 2021 mereka mengatur konten di media sosial. Regulasi itu membuat Facebook, WhatsApp, Twitter dan lainnya harus lebih bertanggung jawab atas permintahan resmi penghapusan konten secara cepat dan berbagai hal tentang pesan. Di India Perusahaan platform diwajibkan menghapus konten dalam waktu paling lambat 36 jam setelah menerima perintah hukum sesuai peraturan itu (Reuters 25 February 2021). Kecepatan menghapus menjadi persoalan penting untuk mengurangi dampak buruk yang terjadi.
Bagi Indonesia sebenarnya lebih beruntung karena dengan adanya UU ITE, salah satunya pasal 40 ayat (2a) dan (2b) yang berlaku sejak November 2016, negara atau pemerintah memiliki kewenangan memutus konten atau meminta keapada penyelenggara sistem elektronik (PSE yang termasuk di dalamnya perusahaan platform global) untuk melakukan pemutusan akses konten yang melanggar perundang undangan, yang berbahaya dan sengaja disebarkan.
Konten yang berbahaya bukan hanya konten pornografi, penipuan, dan perjudian yang jelas-jelas melanggar hukum, konten adu domba SARA, konten terorisme yang salah satunya disebarkan simpatisan dan pengikut ISIS, atau kelompok Jihadis lainnya, juga merupakan konten berbahaya dan banyak yang disebarkan melalui jaringan Medsos. Riset Flashpoint 15 Mei 2018, menemukan lebih dari 400.000 laman terkait materi propaganda ISIS. Mereka menggunakan 46.000 akun twitter dalam 5 bahasa nasional. Juga 10.000 akun Facebook yang bisa diakses di seluruh dunia.
KOMPAS.com melansir The Sun pada Jumat (4/9/2020) – Dari Washington DC diberitakan bahwa ISIS telah membajak akun penggemar #JustinBieber dalam upaya menyebarkan propaganda untuk merekrut remaja di berbagai negara. Menurut para ahli, media sosial dimanfaatkan untuk menyebarkan propaganda oleh grup teror tersebut untuk menyebarkan pesan keji yang seolah-olah mendukung ketenaran bintang pop berusia 26 tahun itu, dan memanfaatkan basis penggemar mudanya. Akun Bieber memiliki pengikut terbanyak kedua di Twitter, 112 juta, dan akun akun besar seperti inilah yang sering dimanfaatkan oleh kekuatan jahat. Selain itu ISIS juga diberitakan punya kantor berita dengan nama Amaq. Kantor berita ini memperkerjakan relawan dari berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai penerjemah berita dan pesan medsos dalam bahasa nasionalnya. Tugas orang orang Indonesia itu adalah menyebarkan propaganda, doktrin, dan hoax agar mendapat dukungan dan simpatisan dari para pengguna internet. Mereka juga menyiapkan negara Islam (khilafah). Dengan mencari pengikut dan dana (fa’i) sebanyak banyaknya. Semua ini menunjukkan bahwa ada ancaman nyata dari konten konten di internet yang bisa meracuni warga negara kita. Dan bisa terjadi kapan saja. Dengan dampak, ada yang perlahan, tapi ada juga yang terlihat nyata. Apakah negara harus diam, atau bereaksi secara terlambat? Ini pertanyaan penting yang harus kita cerna.
Objek UU ITE bukan Institusi Pers.
Aturan terkait institusi Pers berlaku UU no 40 tahun 1999 tentang Pers, bukan UU ITE. Karena itu hasil jurnalistik institusi pers tidak bisa diblokir, dan tidak boleh pula diputus aksesnya berdasar UU ITE (pasal 40 ayat 2B). Untuk pers dan pemberitaan Pers beerlaku UU Pers sebagai Lex Specialis. Jika ada berita yang salah atau bermasalah, hingga memunculkan sengketa, penyelesaiannya lewat mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi sesuai pasal 6 UU Nomer 40 tahun 1999 tentang Pers.
Kalau ada “pers” diputus aksesnya, biasanya itu tidak termasuk ke dalam daftar list media yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers. Karena prosedur pemutusan akses untuk media online, petugas harus melihat website Dewan Pers dan buku Data Pers Nasional yang diterbitkan setiap tahun. Jika media yang bersangkutan belum masuk dalam daftar tersebut, maka bisa diblokir karena dianggap bukan sebagai pers. Penentuan itu ada dalam kompetensi Dewan Pers. Jika sebuah media syarat syaratnya sebagai pers belum terpenuhi. Maka tidak memiliki hak hukum sebagai institusi pers, sehingga masih menjadi objek UU ITE.
Apa Syarat Menjadi Pers?
Setiap perusahaan pers atau media disebut sebagai pers, syarat utamanya adalah, harus berbentuk Badan Hukum Indonesia, ini sesuai ketentuan pasal 9 UU Pers. Adapun badan hukum Indonesia yang dimaksud di atas adalah berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau badan-badan hukum lainnya yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. Badan hukum lainnya yaitu yayasan atau koperasi. Badan hukum tersebut harus resmi terdaftar di Direktorat Jenderal AHU, Kementerian Hukum dan HAM, sebagai badan hukum di bidang pers atau jurnalistik. sesuai Pasal 1 angka 2 UU Pers. Disebutkan, badan hukum untuk penyelenggaraan usaha pers adalah badan hukum yang “secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.” Dengan demikian, bentuk badan hukum untuk usaha pers tidak dapat dicampur dengan usaha lain selain di bidang pers. Tidak boleh sekedar Perusahaan Terbatas atau badan hukum bidang lain, misalnya teknologi, pangan, usaha jasa dan lain lain, tapi harus badan hukum yang bergerak secara khusus dalam bidang pers, jurnalistik atau penyiaran. Hal ini aturannya tertuang dalam
Surat Edaran Dewan Pers No. 01/SE-DP/I/2014 Tentang Pelaksanaan UU Pers dan Standar Perusahaan Pers.
Syarat kedua sebagai institusi pers adalah perusahaan media tersebut memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya” (Pasal 10 UU No. 40/1999). Ketentuan ini perlu ditekankan, karena Dewan Pers menemukan sejumlah kasus perusahaan pers hanya memberikan kartu pers kepada wartawannya tanpa memberi gaji, dan meminta wartawannya untuk mencari penghasilan sendiri.
Syarat ketiga Perusahaan Pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun” (Butir 8 Standar Perusahaan Pers). Dalam hal ini Dewan Pers mengingatkan, sesuai dengan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan yang memberikan upah lebih rendah dari upah minimum provinsi atau kabupaten/kota dapat dipidana paling rendah 1 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta.
Syarat keempat adalah “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan” (Pasal 12 UU No 40/1999). Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 12 ini dapat dipidana denda sekurang- kurangnya Rp100 juta. Dalam hal ini, secara khusus, masih banyak ditemukan perusahaan pers yang tidak mengumumkan nama penanggung jawab secara terbuka melalui medianya.
Sebagai tindaklanjut atas ketentuan ini, Dewan Pers hanya memasukkan data perusahaan pers yang telah mematuhi persyaratan di atas ke dalam website Dewan Pers dan buku Data Pers Nasional yang diterbitkan setiap tahun. Jadi sebuah media memenuhi syarat sebagai pers tidak hanya berdasar syarat berbadan hukum Indonesia dengan alamat dan penanggung jawabnya saja, melainkan juga persyaratan lain yang kemudian diverifikasi oleh Dewan Pers. Demikian ketentuan yang mengacu pada UU Pers, tentang standar perusahaan Pers. Memang benar dan saya setuju kebijakan Dewan Pers, jika syarat pers hanya berupa berbadan hukum Indonesia saja, maka akan ada puluhan ribu media menjadi pers tanpa verifikasi kelayakan. Hal demikian justru akan merusak kualitas pers Indonesia, serta bisa menghancurkan iklim pers sebagai institusi bisnis, maupun institusi sosial dan politik, karena jumlah yang tidak terbatas, justru kualitas dan standar menjadi tidak terjamin.
Memutus Akses, Antara Melindungi Publik dan Menjaga Demokrasi.
Memutus akses, mencegah peredaran informasi elektronik atau data elektronik yang melanggar perundang-undangan, itu bukan sesuatu tindakan untuk menghambat kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara. Norma itu merupakan kewajiban negara untuk melindungi publik dan menjaga demokrasi, bahkan dalam konteks pandemi covid-19 bisa merupakan upaya menjaga “nyawa masyarakat”. Warga negara selain memiliki hak berpendapat dan berkomunikasi. Publik dan warga negara juga memiliki hak memperoleh informasi yang benar, dan tidak dibanjiri informasi yang merusak, meracuni atau menyerang kehidupan mereka. Informasi yang benar, dan tidak melanggar hukum dibutuhkan publik dan warga negara untuk mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup secara normal sebagai makhluk yang dimuliayakan Tuhan Yang Maha Esa. Konten- konten pornografi (apalagi pornografi anak), jelas membahayakan anak cucu kita semua. Konten penipuan juga merupakan konten yang membahayakan warga negara. Begitu pula konten perjudian. Konten hasutan dan hoax yang memanipulasi realitas dan sengaja berupaya megganggu ketertiban umum, memprovokasi dan mengadu domba masyarakat, tentu tidak bisa dibiarkan, atau ditunggu hingga terjadi keonaran.
Sebagai negara berdasarkan Pancasila, pemerintah punya kewajiban menjaga agar seluruh warga negara bisa mengembangkan diri, keluarga dan kehidupannya secara sehat. Disitulah pentingnya peran pemerintah sebagai penyelenggara negara, diwajibkan Undang-Undang menjaga ruang digital, agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan warga negara secara produktif. Ini karena Indonesia bukan negara Liberal, melainkan negara yang berdasarkan Pancasila. Sistem Hukumnya tidak hanya berasal dari General Principle of Law, tapi juga berasal dari Hukum Adat, dan Hukum Agama.
Adapun pemutusan akses itu bukanlah untuk seluruh konten informasi elektronik secara umum. Bukan pula untuk konten-konten yang berasal dari pendapat warga negara yang isinya mengkritisi Pemerintah. Konten-konten semacam itu justru dilindungi berdasar konstitusional pasal 28 F UUD 1945. Kritik dan pendapat itu justru boleh dan itu baik bagi sistem. Kebebasan berpendapat dan kritik itu menciptakan pemerintahan yang cerdas, hati- hati dan bijak. Tapi berbeda untuk konten-konten yang memang melanggar hukum dan illegal. Konten yang jelas-jelas melanggar perundang-undangan memang harus dibersihkan oleh pemerintah, agar dunia digital bisa lebih bermanfaat dan produktif. Itulah amanah pasal 40 ayat (2a) dan pasal 40 ayat (2b) UU no 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dan pasal a quo inipun diturunkan dalam peraturan pelaksanaan, yaitu Peraturan Pemerintah no 71 tahun 2019. Serta pengaturan teknis dalam Peraturan Menteri Kominfo nomer 5 tahun 2020. Dalam regulasi tersebut, pemutusan akses tidak ditentukan oleh satu Kementerian saja (Kominfo), melainkan melibatkan Kementerian Lembaga lain yang kompeten. Serta juga melibatkan partisipasi masyarakat luas. Mekanismenya didasarkan pada SOP, baik mengenai pelaporan konten ilegalnya. Verifikasi dan analisis aduannya. Maupun mekanisme normalisasi situs yang diblokir, sehingga sistem ini menjadi sebuah mekanisme yang diusahakan objektif, demokratis dan penuh kehati hatian.
Oleh karenanya pemutusan akses atau yang sering disebut pemblokiran itu jelas berbeda cara dan konsepnya dengan breidel atau black out. Breidel itu sampai kapan tidak ada kejelasan, bahkan bisa berlaku permanen. Sedang pemutusan akses, yang diatur berdasar UU ITE dan regulasi turunannya, pengelola memiliki hak dan waktu untuk klarifikasi hingga dimungkinkan dinormalkan kembali secepatnya.
Gugatan pada pasal a quo.
Apa yang diminta oleh para pemohon, yaitu antara lain “ Menyatakan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan bertetangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum” selain bermasalah dari sisi legal standing, juga berbahaya dan melemahkan negara jika diterima.
Mengikuti gugatan pemohon, dalam hal pemblokiran atau pemutusan akses, dimana pasal aquo dimintakan kepada Mahkamah Konstitusi untuk diubah menjadi “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum” akan memiliki konsekuensi yang luas dan berbahaya. Kerusakan akan terjadi apabila pemutusan atau pemblokiran itu terlambat dilakukan. Yaitu ketika pemerintah dibebani keharusan mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis, sebelum tindakan pemblokiran dilakukan, berarti pemerintah tidak bisa melakukan tindakan secepat mungkin untuk menghindari munculnya kerusakan dan jatuhnya korban.
Kecepatan adalah persoalan utama dalam melawan kejahatan digital. Kalah cepat berarti membiarkan kejahatan itu merajalela. Ini bukan hanya persoalan hari, tapi bisa persoalan jam, bahkan menit dan detik. Kecepatan penyebaran konten negatif itu sangat cepat dan massif. Bayangkan saja ada 202,6 juta pengguna internet yang siap menelan dan memviralkan lewat fenomena “Mass Self Communication” (Manuel Castle, 2007). Seperti kasus Pornografi Artis yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Daya sebar dan daya rusak konten illegal itu tidak membutuhkan hitungan hari, tapi hanya dalam hitungan jam, jangkauan penyebarannya sudah meluas. Karena konten ilegalnya disebarkan lewat internet dan media sosial, sementara “promosinya” pemberitaannya ada di berbagai media massa dan media konvensional, sehingga terjadi penyebaran secara omnichannel. Pelaku komunikasi di media sosial memang menunggu, bahkan mencari konten yang diramaikan.
Sebenarnya jika konten illegal itu masih di server penyelenggara sistem elektronik (PSE), maka masih dimungkinkan untuk diblokir. Tapi ketika konten sudah disebarkan ke ranah privat, maka penyebaran akan berjalan massif dan sulit dicegah, karena sudah masuk dalam komunikasi pribadi, self to self communication. Saat penyebaran konten sudah masuk ke area komunikasi privat, negara tidak punya kewenangan menghentikan ataupun mengintervensi. Penyebaran konten illegal juga sulit dinetralisir muatannya dengan counter informasi yang berbeda. Membutuhkan effort yang sangat berat, bahkan mustahil. Kalau terjadi keterlambatan pemblokiran maka konten illegal tersebut langsung masuk ke ranah privat, masuk ke layer inter-messaging service yang tidak bisa lagi dicegah penyebarannya. Disitulah mengapa kecepatan menjadi kunci utama penanganan.
Oleh karena itu sebagai ahli, kami memohon kepada Mahkamah agar, pasal aquo ini tetap dipertahankan sebagaimana aslinya, dan gugatan pemohon untuk tidak diterima. Karena apabila kewenangan negara atau pemerintah diubah, hingga tidak bisa lagi mencegah secara cepat dan tepat, maka dampak buruknya adalah kepada masyarakat luas, anak cucu kita di masa depan, serta NKRI secara keseluruhan. Menurut ahli, Mahkamah justru perlu menetapkan agar pemerintah tidak ragu menggunakan kewenangannya ini untuk memerintahkan pada perusahaan platform maupun PSE, supaya segera menghentikan konten-konten yang melanggar perundang undangan, ataupun misinformasi yang sangat berbahaya bagi kehidupan.
Prof. Dr. Drs. H. Henry Subiakto, SH, MA. (Guru Besar FISIP Unair, Pengajar Hukum Media)
Daftar Pustaka
Bernadeta, A. Puspaningrum. (2021, July 17) Joe Biden: Misinformasi Media Sosial tentang Covid-19 “Membunuh Orang“, KOMPAS.com:
Castells, M. (2007). Communication, Power and Counter-Power in the Network Society. International Journal of Communication, 238-266.
Diamandis, P. H., & Kotler, S. (2017). Abundance: The Future Is Better Than You Think (Exponential Technology Series). Free Press.
Hatch, A. (2021, Maret 12). Big Tech companies cannot be trusted to self-regulate: We need Congress to act. Retrieved from techcrunch.com: http://feedproxy.google.com/~r/Techcrunch/~3/38ZgdFwzg5s/
Joshua Roberts, U.S senators target tech’s legal immunity to stop vaccine misinformation
Reuters, Washington, 22 July 2021. Orlikowski, W. J. (2012). Sociomateriality.
Sicca, S. P. (2020, September 5). ISIS Bajak Akun Penggemar Justin Bieber dan Sebarkan Propaganda. Retrieved from KOMPAS.COM: https://www.kompas.com/global/read/2020/09/05/215006370/isis-bajak-akun- penggemar-justin-bieber-dan-sebarkan-propaganda?page=all
Singer, P. W., & Brooking, E. T. (2019). Like War, The Weaponization of Social Media. New York: Eamon Dolan/Houghton Mifflin Harcourt.
Vaidhyanathan, S. (2019). Antisocial Media: How Facebook Disconnects Us and Undermines Democracy. Oxford University Press.
Widiartanto, Y. H. (2016, April 15). 26.000 Akun Twitter ISIS Diblokir, 21.000 Akun Baru Muncul. Retrieved from KOMPAS.COM: https://tekno.kompas.com/read/2016/04/15/11480097/26.Ribu.Akun.Twitter.ISI S.Diblokir.21.Akun.Baru
Tinggalkan Balasan