BENARKAH ADE ARMANDO DAN ORANG ORANG SEPERTI DIA ITU PENISTA AGAMA?

Saya sering ketemu orang yang bilang Ade Armando dianiaya karena Negara tidak adil, membiarkan penista agama tetap berkeliaran, bikin konten yang menyerang umat Islam. Tidak hanya Ade yang mereka sebut penista agama, tapi juga ada beberapa nama disebut.

Bagi sebagian masyarakat yang meyakini para aktivis media sosial itu sudah melakukan penistaan agama, mereka lalu menyalahkan negara karena dianggap telah membiarkan orang-orang itu tetap bebas beraktivitas. Jadi logis kalau dihakimi masyarakat, katanya. Sebenarnya siapa yg berhak menuding seseorang dikatakan menista agama? Apa masyarakat awam yang sensitif, atau aparat penegak hukum? Tentulah keputusan pengadilan. Karena hanya pengadilanlah yang berhak menentukan orang itu bersalah atau tidak. Dengan demikian menyebut Ade penista Agama jelas tidak sesuai fakta hukum.

Lalu salahkah dengan banyaknya pendapat yang menyebut orang-orang itu telah menista agama? Tentu saja orang atau warga negara berpendapat itu boleh. Tapi tidak berarti pendapat itu benar, karena belum diuji. Belum dibahas secara hukum. Terlebih dibuktikan di pengadilan. Apalagi yang berpendapat adalah orang-orang yang sebagian besar tidak kompeten bicara tentang itu. Mereka bicara lebih dikarenakan perasaan kecewa, atau terkait perasaan tidak senang terhadap orang yang sikap politiknya berseberangan, hingga ingin menghukum orang lain yang dianggap lawan yang bikin emosi. Padahal istilah penistaan Agama sendiri, merupakan istilah yang tidak tepat dalam sistem hukum Indonesia. 

Penistaan Agama itu berasal dari bahasa Inggris blasphemy.  Secara umum, blasphemy didefinisikan sebagai “Any oral or written reproach maliciously cast upon God, His name, attributes, or religion” (Celaan secara verbal atau tertulis apapun dengan kedengkian terhadap Tuhan, namaNya, sifat-sifatNya, atau agama). Sampai sekarang tidak ada kesepakatan pengertian blasphemy secara internasional. Sedang di Indonesia penistaan agama diartikan sebagai tindakan penghinaan, penghujatan, atau ketidaksopanan terhadap tokoh-tokoh suci, artefak agama, adat istiadat, dan keyakinan suatu agama yang hanya didasarkan pada pendapat pribadi atau diluar kompetensinya (mal praktek). Pengertian ini adalah pengertian bahasa, pengertian umum yang sangat luas, dan bukan pengertian hukum berdasar pasal UU yang berlaku.

Aturan tentang Blasphemy seperti itu di banyak negara demokrasi malah sudah dicoret dari hukum pidana.  Pendapat yang buruk tentang suatu agama itu bukan hal yang dilarang melainkan persoalan kebebasan berpendapat dan etika. Dalam sistem demokrasi, pendapat seseorang itu walau salah dan menyakitkan sekalipun, tidak bisa dihukum, sepanjang tidak dilarang secara tegas oleh UU. Itu prinsip demokrasi dan Rule of Law. Di Indonesia sebenarnya juga sama.

Kebebasan berpendapat itu hak warga negara yang dijamin konstitusi, tapi kebebasannya tidak absolut. Yaitu dibatasi dengan UU. Demikian isi pasal 28J UUD 1945. Sekali lagi batas kebebasan berpendapat itu adalah UU, bukan perasaan orang per orang. Bukan pula dibatasi oleh rasa ketersinggungan masyarakat. Hukum itu harus pasti dan tidak boleh ditekan oleh siapapun. Termasuk tidak boleh diintervensi masyarakat ataupun massa. Hukum harus independen dan memiliki kepastian berdasar pengertian isi pasal UU nya. Nah disitulah permasalahannya. Apa yang dirasakan sebagian masyarakat berbeda dengan peraturan hukum yang berlaku yang ada di pasal UU. Bagi sebagian masyarakat, perkataan apapun kalau dirasa menyerang keyakinannya dengan enteng dianggap orang itu sudah melakukan penistaan agama. Apalagi yang bicara adalah orang yang berbeda kubu dalam berpolitik. Maka berbondong bondonglah orang yang tersinggung keyakinannya itu lapor polisi. Melakukan desakan pada para penegak hukum minta agar  penegak hukum membuat jera dengan mempidana orang orang yang berpendapat “menyerang” keyakinannya. Tiap kelompok masyarakat yang sensitif akhirnya melaporkan para aktivis dan bahkan para tokoh agama, ustad, hingga content creator dan lain-lain dengan tudingan mereka telah menista agamanya. Ini yang juga dialamatkan ke Ade Armando dkk.

Apa yang sebenarnya dilarang oleh Hukum atau UU kita terkait Blasphemy? Pertama istilah Penistaan Agama dalam KUHP itu tidak tepat. Yang ada di KUHP adalah pasal Penodaan Agama yaitu pasal 156a. Sayangnya sejak pasal 156a ini diterapkan di Indonesia (1965) mayoritas kasus penodaan agama selalu diwarnai dengan tingginya perhatian dan tekanan publik. Di Era Orba kasus penodaan agama juga banyak terjadi, tapi tidak membawa keributan karena pemerintahan yang kuat, represif, dan membatasi secara ketat kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Saat itu tidak ada gejolak yang berarti.

Di era reformasi, demokrasi dan kebebasan berekspresi, salah satu kasus penodaan agama yang memancing perhatian masyarakat, bahkan munculkan demonstrasi besar-besaran berjilid-jilid di Ibukota terjadi pada tahun 2017. Yaitu kasus penodaan agama yang didakwakan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), yang pada saat itu merupakan petahana dalam proses pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Proses hukum terhadap Ahok ini sangat sarat dengan kepentingan politik dan tekanan politik dari masa yang selalu memaksakan keinginan agar Ahok dipidana. Walhasil Basuki Tjahaya Purnama atau Ahokpun dipidana 2 tahun karena pendapatnya yang mengatakan “Jangan mau dibohongi Pakai surat Al Maidah ayat 51”. Putusan ini dianggap sebagai yurisprudensi, terkait penistaan agama yang  menyinggung kepercayaan agama lain. Keputusan itu seakan jadi pembenar bahwa berpendapat yang menyinggung penganut agama lain, bisa dipidana sebagai penista agama. Kasus Ahok sebagai contoh hukum. Bahkan kemudian orang-orang yang dianggap sebagai penista agama, tidak harus melintas dari agama lain. Seagamapun bisa dianggap sebagai pelaku penista agama, jika kata katanya menyakitkan, menyinggung atau bertentangan dengan keyakinan sebagian masyarakat. Terutama ini tudingan ini diarahkan untuk orang-orang yang berbeda kubu atau pengelompokkan politiknya.

Sebenarnya secara hukum positif bagaimana bunyi pasal larangan penodaan agama di KUHP? Pertama pasal larangan penodaan agama (pasal 156a KUHP) itu baru ada tahun 1965, yaitu di masa akhir pemerintahan Soekarno. Di era sebelumnya, termasuk jaman kolonial Belanda tidak ada larangan itu. Merujuk pada penjelasan UU No. 1/PNPS/1965 yg menjadi dasar berlakunya pasal 156a KUHP, Presiden Soekarno membentuk norma UU ini untuk merespon ketegangan yang makin berkembang antara kelompok Muslim dengan aliran kepercayaan saat itu.

Adapun bunyi larangan penodaan agama pasal 156a adalah sbb:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :

  1. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia
  2. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”

Unsur-Unsur Tindak Pidana Pasal 156a KUHP.

Berdasarkan ketentuan teks dalam UU No.1/PNPS/1965 atau Pasal 156a KUHP dan Penjelasannya, unsur-unsur tindak pidana yang terdapat dalam pasal tersebut setidaknya mencakup: (i) barang siapa, yang dapat ditafsirkan sebagai setiap orang; (ii) dengan sengaja; (iii) dimuka umum; (iv) mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; (v) yang pada pokoknya bersifat; (vi) permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Sementara untuk Pasal 156a huruf b KUHP, unsur-unsur pidananya mencakup: (i) barang siapa, yang dapat ditafsirkan sebagai setiap orang; (ii) dengan sengaja; (iii) dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; (iv) dengan maksud; (v) agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Norma UU tersebut ditujukan untuk melindungi ketentraman beragama dari penodaan/penghinaan serta ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Aspek penting terkait dengan unsur-unsur Pasal 156a KUHP pada huruf a adalah adanya actus reus. Penafsiran terhadap Pasal 156a huruf a, frasa “dengan sengaja” pada bagian unsur “dengan sengaja dimuka umum” pada Pasal 156a KUHP huruf a haruslah diartikan sebagai bentuk Opzet Als Oogmerk (sengaja dengan tujuan).

Artinya ujaran yang dimaksud sebagai penodaan agama tersebut harus benar-benar ditujukan untuk menghina atau merendahkan suatu agama/keyakinan. Ini diperlukan pembuktian adanya ‘kesengajaan dengan tujuan” bukan sekedar “kesengajaan umum” belaka. Apalagi hanya orang salah ngomong, salah ucap, atau salah nulis. Sebagai contoh, kritik yang tidak ditujukan untuk menghina atau merendahkan agama/ keyakinan,  tidak dapat dikualifikasikan dalam tindak pidana ini meskipun kritik tersebut dilakukan dengan sadar dan ternyata berdampak menyinggung perasaan.

Apalagi mengacu pada  huruf b pasal 156a, ini jadi unsur penting yg disebut penodaan agama.  Yaitu unsur “dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga.” Memang tidak ada penjelasan pengertian pasal ini. Hanya dinyatakan bahwa pelaku di samping mengganggu ketenteraman orang beragama, pada dasarnya sengaja mengkhianati sila pertama Pancasila. Bertujuan membuat orang tidak percaya/tidak menganut agama berdasar Pancasila. Huruf b ini adalah suatu rangkaian unsur kriteria tindak pidana penodaan agama. Jadi tidak semua orang yang menyinggung atau mengritik agama atau perilaku penganut agama yang kita anut itu lalu begitu mudah dimasukkan sebagai penodaan agama. Unsur-unsur delik ini cukup banyak. Sayangnya kasus Ahok berbicara lain. Ahok yang sebenarnya hanya berpendapat, tapi dihukum di tengah demo besar yang menekan pemerintah dan pengadilan.

Kasus Ahokpun dianggap sebagai yurisprude padahal dalam sistem hukum Indonesia yang menganut Civil Law, yurisprudensi bukanlah sumber hukum. Sumber hukum Indonesia adalah codified law, UU. Yurisprudensi itu hanya pelengkap, saat ada kekosongan hukum. Lagi pula dalam masyarakat demokratis kita memang harus terbiasa berbeda pendapat. Terbiasa menerima pandangan yang berbeda dengan keyakinan kita, dari orang-orang yang berbeda cara berpikirnya.

Tidaklah tepat jika sedikit sedikit marah dan tersinggung lalu lapor polisi. Lalu berdasar pikiran kita sendiri menganggap polisi tidak adil saat laporan yang  kita maksud tidak bisa diteruskan prosesnya. Penegak hukum itu setiap tahapan penyelidikan ke penyidikan, penetapan tersangka hingga penuntutan, selalu harus ada minimal dua alat bukti yang kuat, dan keterangan ahli yang kompeten yang membenarkan adanya pasal pidana yang dilanggar. Tanpa bukti-bukti dan argumen hukum yang kuat, proses hukum tidak bisa diteruskan.  Proses penegakan hukum ini tidak boleh diintervensi ataupun ditekan oleh siapapun. Apa yang kita pikirkan dan kita anggap benar, belum tentu sesuai dengan kriteria dan unsur unsur pidana menurut penegak hukum berdasar alat bukti dan para ahli. Oleh karenanya opini publik belum tentu sama dengan fakta hukum. Anggapan dan keyakinan orang-orang tentang salah tidaknya seseorang tidak bisa ditentukan oleh tudingan berdasar perasaan.  Atau mereka yang referensinya hukum agama, jelas tidak tepat. Karena hukum positif negeri ini bukan syariah, melainkan UU yang berlaku. Menuding dan meyakini bahwa seseorang sebagai pelaku penista agama, itu bukan fakta hukum, bukan pula bukti hukum. Itu hanya permulaan kasus berdasar atas perasaan dan munculnya laporan.

Sayangnya penegak hukum tidak memberi penjelasan tentang ini semua. Harusnya penegak hukum gerak cepat menjelaskan ke publik kenapa sebuah kasus tidak berlanjut. Sedang kasus yang lain bisa berlanjut. Penjelasan itu penting agar tidak muncul spekulasi dan disinformasi.

Oleh : Henry Subiakto (Alumni Fakultas Hukum UII)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *